Senin, 11 Oktober 2010

Kado Istimewa

Oleh: Alvi Darojaturrois


Detik-detik semesteran telah usai. Kini tibalah saatnya Murid MI Annashriyah menerima hasil belajar mereka. Beberapa wali murid yang mendapatkan undangan duduk rapi mendengarkan pengumuman dari Bapak Muthohir selaku kepala sekolah. Di barisan ketiga, terlihat sosok kecil dengan penampilan lugu duduk disamping seorang laki-laki penuh wibawa dan kasih sayang. Nama gadis itu adalah Nabila. Sedangkan sosok berwibawa yang duduk disamping Nabila adalah Pak Rahmat, ayahanda tercinta. 

Tegang, semua wajah memandang ke depan mimbar. Dengan suara penuh wibawa, Pak Muthohir mengumumkan hasil ulangan semester 2. Nabila, gadis kelas dua ini tidak sabar untuk mendengarkan pengumuman. Ia merasa gugup dan takut. Denyut jantungnya seperti mau copot dan wajahnyapun pucat menahan rasa gugup. Pikirannya gusar dan tidak berkonsentrasi. Kakinya seolah ingin ke kamar mandi. Ia tidak tahan menunggu saat-saat yang begitu mencengangkan ini. Dengan sahabat tercintanya yang sedari tadi memilih untuk berdiri, Nabila dan Sintapun segera menuju kamar mandi.

”Mbak, kamu tidak diambilkan oleh bapakmu?”( tanya Nabila polos )
”Tidak, dik, kemarin bapakku tidak diberi undangan untuk datang.”
”Aku takut mbak, diantara teman satu kelas, hanya aku yang dipanggil Bu guru
dan diberi surat undangan untuk kedua orang tua. Aku benar-benar takut kalau ada masalah. Kamu tahu kan, kemarin aku ketakutan dan segera pulang? Soalnya, kemarin Irvan juga dipanggil Bu guru dan diberi surat undangan. Ternyata, dia dikeluarkan karena nakal. Sedangkan aku? Aku benar-benar tida tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak sanggup untuk kehilangan kesempatan belajar bersamamu, mbak. Aku takut kehilangan orang-orang yang aku cintai. Aku takut.”
( Sembari memeluk erat sahabat sejatinya yang setia setiap waktu )


”Sudahlah, dik. Kamu tida perlu merasa takut. Itu tidak mungkin. Kalau toh
mungkin, kita akan selalu bersama dalam suka ataupun duka. Memangnya dik
Nabila pernah berbuat apa? Apakah kamu sudah membaca isi suratnya, dik?”
( Ujar Sinta menanggapi )
”Mana aku berani membuka isi suratnya, mbak. Dikeluargaku sudah dibiasakan
untuk tidak mendahului orang tua. Jadi, aku membawa surat itu dan
menyerahkannya kepada oran tuaku.” ( lagi-lagi Nabila berkata polos ) 

”Berarti kamu sama sekali tidak mengetahui isi surat tersebut?”
( Ujar Sinta penasaran )
”Tidak, mbak. Aku takut. Sudahlah disini saja ya?”
”Masak berdiri di depan kamar mandi, dik?”
( Sinta mengernyitkan dahi)

Nabila berdiri tegak memandang wajah sahabatnya. Sesekali ia memandang sumur tua tepat di depan kamar mandi ia berdiri. Tak terasa, keringat bercucuran membasahi kening gadis ini. Kegusaran menggelayut kalbu. Dan, keletihan mulai bersarang di hati Nabila.
”Dik, daripada berdiri di depan kantor mandi yang bau ini lebih baik kita melihat dari atas. Ayo kita naik tangga untuk bersembunyi sambil mendengaran pengumuman.” ( Ajak Sinta memberi solusi ). Merekapun berlari menuju ruang atas dan bersembunyi dibawah meja sambil memasang telinga rapat-rapat. Kemudian, Nabilapun berbisik.
”Mbak, jangan pergi dulu, ya, sebelum pengumuman selesai?”
Ujar Nabila panik.belum lama mereka berada dibawah meja ada suara langkah kaki mendekati mereka.
”Dik, ada orang, sst……..”
”Iya mbak, sst……” Ujar Nabila pula.
”Nabila, Sinta, kok dibawah meja?”
(Tegur sosok wanita yang rupanya guru kelas mereka)

Seketika wajah Nabila dan Sinta merah padam menahan malu. Mereka segera berdiri dan menundukkan wajah.
”Sedang apa kalian?”(Tegur Bu Sinta geli melihat tingkah aneh mereka yang bersembunyi di bawah meja )
”E……. tidak apa-apa, Bu.”
Ujar Sinta menengahi. Sesekali ia melihat wajah sahabat yang sudah ia anggap sebagai adik itu. Disana, terlukis jelas ketautan yang begitu luar biasa.
”Nabila, kamu dipanggil oleh Bapak kepala sekolah. Ayo kalian segera kesana.”
( seraya memperhatikan wajah anak didik kesayangannya itu )
”Nabila, kamu sakit? Kok mukamu pucat dan badanmu panas?”
Tanya Bu Santi setelah memeriksa kening Nabila.

Nabila semakn menunduk dan ketakutan dalam hatinya kian bertambah.
Sebetulnya, tulah reaksi Nabila saat ketakutan. Wajahnya pucat, badannya panas,dan lebih sering ke kamar mandi.
Nabila hanya tersenyum tipis. Bibirnyapun berwarna pucat keunguan menahan rasa takut. Dan, ketakutan Nabila semakin bertambah ketika Bu Santi mengatakan bahwa ia di panggil oleh Bapak kepala sekolah.
”Nabila, ayo kita ke dokter”
( Ujar Bu santi dengan penuh kasih sayang )
”Tidak usah,bu.”(Ujar Nabila seraya mundur ke belakang, takut)
”Lho, kok malah takut.Tidak apa-apa. Nanti kita ke dokter diantar oleh mbak sinta. Iya kan mbak sinta?”
Sinta hanya tersenyum kecil. Sedangkan Nabila semakin ketakutan. Bu Santi bingung dengan tingkah Nabila yang jarang terdengar tutur sapanya. Beliau bingung dengan murid yang hanya tersenyum dan aktif apabila ada pelajaran ini. Ketakutan di balik kediamannya itulah yang semakin membuat Bu Santi khawatir. Meskipun pendiam sudah menjadi karakter / bawaan Nabila sejak kecil, Bu Santi mengetahui betul karakter murid yang satu ini. 

”Sinta, kamukan sahabatnya, Ada apa dengan Nabila?”
”Itu, bu, dik Nabila takut dikeluarkan dari sekolah.”
(Ujar Sinta pelan)
”Lho, kenapa takut dikeluarkan?Nabila pernah berbuat apa?”
Bu santi terhentak kaget. Denyut jantung beliau terasa mau copot. Sedangkan nabila tercengang mendengar pertanyaan Bu Santi. Beliaulah yang menyerahkan surat undangan untuk kedua orang tuanya. Tapi kenaa beliau malah terlihat begitu kaget mendengar pernyataan sahabatnya?lalu, apa isi surat itu?”ribuan pernyataan membenam di benak Nabila. Walau begitu, rasa takut itu tidak juga enyah dari hatinya. Ia bertunduk menatap lantai. Bu Santi terdiam memperhatikan murid yang selalu menjaga tata krama itu. Sepintas, kedua matanya menata wajah gadis mungil ini, mencoba menerka apa yang telah terjadi. Namun, semuanya sia-sia. Kedua bocah ini semakin tertunduk malu.
”Kenapa Nabila berpikir seperti itu?”pikir Bu Santi penasaran
Beliau menarik nafas dalam-dalam dan berkata
”Coba ceritakan dengan jelas kepada Ibu”

Dengan cepat, Nabila meraih tangan Sinta dan menggelengkan kepala serempak, keduanyapun menggelengkan kepala.Bu Sinta semakin bingung.
”Sudahlah, kalian tidak perlu takut. Ayo ceritakan kepada Ibu.”
Sekali lagi mereka hanya menggeleng dan merunduk.
”Sinta, coba ceritakan kepada Ibu apa yang terjadi pada Nabila!”
Sinta memandang wajah sahabatnya dan tertunduk. Kini, Bu Santi tahu alasan mereka yang sedari tadi hanya terdiam dan menunduk. Sinta tidak menjawab pernyataan Bu Santi karena ia sangat menjaga perasaan Nabila.

”Sinta, kamu sayang pada Nabila kan? Bila kamu menyayangi Nabila, seharusnya kamu membantu dia dengan cara menceritakan apa yang telah terjadi pada Ibu. Siapa tahu Ibu dapat membantu.”
Sejenak Nabila terpaku. Begitu pula dengan sahabatnya. Mereka saling memandang satu sama lain. Tanpa pikir panjang, Nabilapun segera mengambil langkah mundur dan berlindung di balik pundak Sinta, sahabat sejatinya. Sinta terdiam. Dengan rasa cemas lapun bercerita.
”Begini, bu. Dik Nabila takut dikeluarkan dari sekolah. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan bersekolah bersama orang-orang yang dia cintai. Kejadian ini berawal ketika Bu Guru memberikan surat undangan kepada Nabila tempo lalu. Dia tidak ingin nasibnya sama seperti Irvan, teman kami yang dikeluarkan dari sekolah setelah menerima surat undangan orang tua dari Ibu Santi”
Bu Santi tercengang, kaget.
”Apakah kamu sudah mengetahui surat itu, Nak?”
(Tanya Bu santi penasaran)

Nabila menggeleng pesan
”Lho, surat itukan saya titipkan pada kamu, kok bisa kamu belum tahu isinya?”
(Tanya Bu Sant semakin penasaran)
Mendengar hal itu, Nabila segera beranjak dari punggung sahabatnya. Perlahan tapi ia segera melangkahkan kaki, menatap dengan cemas wajah sosok yang dengan sabar mendidiknya di sekolah.
”Saya sama sekali belum membaca surat tu, bu. Surat itu Ibu titipkan untuk kedua orang tua saya. Jadi, saya memegang amanah itu dan tidak berani mendahului kedua orang tua saya dengan membaca isi surat terlebih dahulu. Setibanya dirumah, saya langsung menyerahkannya kepada Ibu. Ibupun tidak berani membuka isi surat tu sebelum ayah datang. Sore menjelang magrib, tepatnya saat ayah pulang,surat tersebut baru beliau serahkan. Belum sempat beliau membaca isi surat tersebut, ada tamu datang. Tamu tersebut datang silih berganti hingga malam larut. Sehingga, sayapun hanya bisa menahan rasa takut dan kalut.”

Bu Santi menarik nafas dalam-dalam. Decak kagum menyelimuti perasaan sosok yang terkenal dengan kesantunan serta kearifannya ini. Baru hari ini Bu Santi melihat sosok murid yang begitu teguh memegang amanat. Dalam didikan keluarga yang begitu luar biasa, Nabila sanggup merealisasikannya dalam kehidupan nyata. Bu Santi terpaku memandang sosok kecil di hadapannya itu dalam hati, beliau berkata : “ Subhanallah…..”
Sesekali beliau menatap langit-langit yang dihiasi oleh 6 buah lampu neon dan sekat yang terbuat dari kayu jati tua.

”Nabila, Ibu salut kepada kamu. Baiklah, akan Ibu jelaskan kejadian sebenarnya. Surat yang kamu terima tempo lalu isinya tidak sama dengan surat yang Ibu berikan kepada Irvan. Meskipun sama-sama surat undangan untuk kedua orang tua, tapi isinya saling bertolak belakang. Surat yang diterima Irvan adalah surat undangan bagi kedua orang tua yang putranya sering melanggar aturan sedangkan surat yang kamu terima adalah surat undangan bagi kedua orang tua yang putranya berprestasi. Semester ini, kamu mendapatkan juara satu pararel lagi seperti kelas satu kemarin. Selamat, ya.”
( Ujar Bu santi seraya mengelus kepala dan menjabat tangan mungil Nabila)

Sinta tersenyum lega. Sesekali ia menatap wajah sahabat yang sangat ia sayangi.
”Dik, berarti kamu tidak perlu takut lagi. Seharusnya kamu bahagia.” Ujar Sinta seraya memeluk Nabila yang masih menyisakan ketakutan di raut wajahnya. Serentak, merekapun melaksanakan sujud syukur dan menatap langit penuh bahagia. Melihat hal itu, Bu Santi hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. Sayup-sayup terdengar beliau mendesak :”Subhanallah”
Hening, sesaat kemudian merekapun melangkah ke atas mimbar.

”Ayo Nabila, Pak Muthohir telah menunggumu sejak tadi.”
Nabilapun melangkahkan kaki menuju sosok yang kharismatik itu. Dengan penuh kegembiraan, Nabilapun menerima hadiah berupa buku-buku pelajaran beserta alat tulis yang terbungkus rapi di balik kertas kado berwarna coklat itu. Sejenak ia berdiri dan memegang hadiah dengan tangan gemetar. Sesekali Nabila memandang sekeliling dan bergelayut dipundak ayahanda tercinta serta memegang erat kedua tangan sahabatnya yang duduk disampingnya itu, seusai ia kembali.”Alhamdulillah…..” desah kedua sahabat itu bersamaan. [ ]
 
sumber: www.kebuncerpen.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar